Minggu, 08 Agustus 2010

Islam Memandang Transplantasi Organ & Jaringan...

1. Pengertian Transplantasi

Transplantasi berasal dari kata to transplant yang berarti to move from one place to another,
bergerak dari satu tempat ke tempat lain. Pengertian transplantasi menurut para ahli Ilmu
kedokteran adalah pembedahan jaringan atau organ dari satu tempat ke tempat lain. Transplantasi
terbagi dua, transplantasi jaringan seperti pencangkokan kornea mata dan transplantasi organ
seperti pencangkokan ginjal, jantung dan sebagainya.

2. Pembagian Transplantasi
Dilihat dari segi hubungan genetik antara donor dan resipien, ada tiga jenis transplantasi, yaitu:
1. Auto-transplantasi, donor dan resipien merupakan satu individu, diambilkan dari bagian
badannya sendiri.
2. Homo-transplantasi, donor dan resipiennya individu yang sama jenisnya, manusia dengan
manusia, donor masih hidup atau sudah mati.
3. Hetero-transplantasi, donor dan resipiennya dua individu yang berlainan jenis, seperti
donornya dari hewan dan resipiennya manusia.
Dilihat dari tingkat keberhasilannya, pada auto-transplantasi hampir selalu tidak pernah
mendatangkan reaksi penolakan, sehingga jaringan atau organ yang ditransplantasikan hampir
selalu dapat dipertahankan oleh resipien dalam jangka waktu yang cukup lama. Pada
homo-transplantasi akan terjadi tiga kemungkinan:
1. Apabila resipien dan donor adalah saudara kembar yang berasal dari satu telur, maka
transplantasi hampir selalu tidak menyebabkan reaksi penolakan. Pada golongan ini hasil
transplantasinya serupa dengan hasil transplantasi pada auto-transplantasi.
2. Apabila resipien dan donor adalah saudara kandung atau salah satunya adalah orangtua,
maka reaksi penolakan pada golongan ini lebih besar daripada golongan pertama, tetapi masih
lebih kecil dari golongan ketiga.
3. Apabila resipien dan donor adalah dua orang yang tidak ada hubungan saudara, maka
kemungkinan besar transplantasi selalu menyebabkan reaksi penolakan.
Dewasa ini homotransplantasi paling sering dikerjakan dalam klinik, terutama dengan menggunakan
cadaver donor, karena dua alasan yaitu:
1. Kebutuhan organ dengan mudah dapat dicukupi, donor mudah ditemui.
2. Dengan pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan, terutama dalam bidang Imunologi, maka
reaksi penolakan (Graft Versus Host Disease/GVHD) dapat ditekan seminimal mungkin

3. Hukum Tranplantasi Organ Manusia
3.1 Pendapat Ulama Klasik
Dalam batas-batas tertentu berbagai jenis transplantasi atau menggunakan anggota tubuh
manusia untuk pengobatan telah menjadi pembahasan para fukaha (ahli fiqih) sejak lama,
baik autotransplantasi, homotransplantasi, atau heterotransplantasi.
Sebagian ulama nampaknya belum memandang perlu memfatwakan hukum autotransplantasi
atau replantasi. Barangkali karena telah ada isyarat dalam sunnah fi’liyyah, Nabi pernah
melakukannya, berkat mukjizatnya Nabi dapat mengembalikan (melakukan tindakan sejenis
replantasi) mata Qatadah bin al-Nu’man yang terlepas keluar pada saat perang Badar atau
Perang Uhud. Juga pernah mereplantasi tangan Muawwidz bin ‘Afra’ dan Habib bin Yasaf,
yang tertebas pedang hingga putus pada saat perang Badar. Atas dasar itu, maka fukaha
sepakat menetapkan bolehnya mengembalikan anggota tubuh yang terputus akibat sakit
atau sebab lainnya ke tempat semula. Ahmad bin Hanbal dan para pengikutnya berargumen,
karena di dalamnya terkandung roh yang merupakan bagian dari roh tubuh tersebut.
3.2. Fatwa Ulama Kontemporer
Majma’ al-Fiqh al-Islami pada Muktamar ke-4 yang diselenggarakan di Jiddah pada 6-11
Februari 1988, telah mengeluarkan fatwa tentang hukum transplantasi menggunakan organ
manusia, auto-transplantasi, dan homo-transplantasi dari orang hidup maupun orang mati,
dengan syarat-syarat yang harus ditunaikan. Ada delapan butir keputusan, yaitu sebagai
berikut:
1. Bahwa memindahkan organ tubuh seseorang ke bagian lain dari tubuhnya sendiri
(auto-transplantasi) hukumnya boleh, dengan ketentuan dapat dipastikan proses
tersebut manfaatnya lebih besar daripada mudarat yang timbul. Disyaratkan juga, hal itu
dilakukan karena organ tubuhnya ada yang hilang atau untuk mengembalikan ke bentuk
asal dan fungsinya, atau untuk menutupi cacat yang membuat si pasien terganggu secara
psikologis maupun fisiologis.
2. Memindahkan organ tubuh seseorang ke tubuh orang lain hukumnya mubah (boleh), jika
organ tubuh yang dipindahkan itu dapat terus berganti dan berubah, seperti darah dan
kulit. Disyaratkan pula, pendonor organ tubuh tersebut seorang yang sehat, serta
beberapa syarat lainnya yang perlu diperhatikan.
3. Boleh hukumnya memanfaatkan organ tubuh yang tidak berfungsi lagi, karena sakit
misalnya, untuk orang lain. Seperti mengambil kornea dari mata seseorang yang tidak
berfungsi lagi untuk orang lain.
4. Haram hukumnya memindahkan organ tubuh yang sangat vital, seperti jantung, dari
seseorang yang masih hidup kepada orang lain.
5. Haram hukumnya memindahkan organ tubuh seseorang yang dapat menyebabkan
hilangnya fungsi organ tubuh yang asasi secara total, meskipun tidak membahayakan
keselamatan jiwanya, seperti memindahkan kedua kornea mata. Namun jika pemindahan
organ tersebut hanya berdampak hilangnya sebagian fungsi organ tubuh yang asasi
(tidak total), maka hal ini perlu pembahasan lebih lanjut, sebagaimana yang akan
disinggung pada poin kedelapan.
6. Boleh hukumnya memindahkan organ tubuh mayyit kepada orang hidup yang sangat
bergantung keselamatan jiwanya dengan organ tubuh tersebut, atau fungsi organ vital
sangat tergantung pada keberadaan organ tersebut. Dengan syarat si mayit atau ahli
warisnya mengizinkan. Atau dengan syarat persetujuan pemerintah muslim jika si mayyit
seorang yang tidak dikenal identitasnya dan tidak memiliki ahli waris.
7. Perlu diperhatikan bahwa kesepakatan bolehnya memindahkan organ tubuh yang
dijelaskan di atas, disyaratkan tidak dilakukan dengan cara jual beli organ tubuh, karena
jual beli organ tubuh tidak diperbolehkan sama sekali. Adapun membelanjakan uang untuk
mendapatkan organ tubuh yang sangat dibutuhkan saat darurat, hal itu masih perlu
pembahasan dan kajian lebih lanjut.
8. Selain bentuk dan kondisi tersebut dia atas yang masih ada kaitannya dengan masalah ini,
maka masih perlu penelitian lebih dalam lagi dan selayaknya dipelajari serta dibahas sejalan
dengan kode etik kedokteran dan hukum-hukum syar’i.
Demikian juga, Komite Tetap Pengkajian Ilmiah dan Fatwa (al-Lajnah al-Daimah lil Buhuts
al-Ilmiyyah wal Ifta’) telah menetapkan hukum tentang transplantasi khusus untuk kornea
mata. Intinya, membolehkan dilakukan transplantasi kornea, dengan syarat pemiliknya
benar-benar telah mati, mendapatkan izin dari yang bersangkutan atau walinya, diprediksikan
secara meyakinkan akan berhasil. Alasan yang dikemukakan, merealisasikan yang kadar
kemaslahatannya lebih besar, memilih mudarat yang lebih kecil, lebih mendahulukan
kepentingan orang hidup. Bahkan, dibolehkan mengambil mata orang yang telah divonis harus
diambil demi kesehatannya karena diprediksikan membahayakan baginya, dan tidak berdampak
buruk kepada pihak penerimanya.

Kajian Kedokteran Islam Fakultas Kedokteran Universitas Yarsi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar