Rasulullah Muhammad saw bersabda, "Berpuasalah kalian, niscaya kalian akan sehat.” Mengapa Rasullullah menasehatkan demikian? Sebab, puasa dapat memperkuat sistem kekebalan tubuh sehingga terlindungi dari banyak penyakit dan itu terbukti dalam dunia medis.
Menurut Dokter Spesialis Saraf, Arman Yurisaldi, jika ditinjau dari segi medis, puasa dapat memengaruhi dua aspek pelakunya yaitu, aspek neuro-psikologis dan non-neuro-psikologis. Aspek neuro-psikologis, puasa menjadi sebuah ajang pengendalian diri dan kesabaran yang dapat melatih bagian otak di pusat pengendali emosi atau amygdala. Ketika emosi membaik, steroid dan adrenalin yang disekresi di dalam tubuh pun cukup dan dalam kadar normal.
Dengan demikian, papar Arman, emosi akan stabil dan daya tahan tubuh meningkat. Steroid yang dikeluarkan dalam kadar cukup membuat sistem pertahanan terhadap kuman meningkat, ini dikenal dengan istilah psiko-neuro-imunology. Menurut Arman, pola hidup Rasul saw harus selalu dijadikan teladan. Sepanjang hayatnya, Nabi saw., sakit hanya satu kali menjelang wafat. Sudah menjadi pengetahuan umum dikalangan sahabat dan pengikutnya bahwa Rasul saw., sering berpuasa sehingga emosinya stabil.
“Bila tubuh memiliki keadaan emosi tak terkendali, adrenalin akan melonjak sehingga mengakibatkan tekanan darah tinggi,” ungkapnya. “Steroid yang dikendalikan bagian otak cortisol akan disekresi oleh ginjal. Sehingga steroid dapat menurunkan jumlah serotonin di otak, Padahal serotonin adalah hormon yang mendorong perasaan gembira” tambahnya.
Arman juga menuturkan, penurunan serotonin akan menimbulkan depresi. Akibatnya orang merasa sedih, nafsu makan menurun, nafsu seks pada pasangan menurun, sulit tidur dan juga sering bermimpi buruk. “Jadi, sudah bisa dipastikan dari segi medis, puasa dapat menyehatkan jasmani dan rohani kita,” tuturnya.
Sedangkan pada aspek nonneuro-psikologik, tambah Arman, puasa dapat menjadikan organ-organ penceranaan beristrirahat sejenak. Apabila organ tubuh terus menerus bekerja insulin bisa terhenti dan berakibat diabetes. Begitu juga dengan jantung, lambung dan usus, kerja mereka, kata Arman, akan kembali stabil dengan kebiasaan berpuasa.
Dengan demikian, lanjut Arman, jiwa dan pikiran orang yang berpuasa akan selalu stabil karena dilingkupi suasana keimanan, banyak beribadah, berzikir, dan membaca Alquran. Mereka yang berpuasa akan menghindarkan diri dari amarah dan kecemasan, menekan keinginan dan mengarahkan potensi-potensi psikis dan fisik ke arah yang positif dan bermanfaat.
Minggu, 08 Agustus 2010
Misteri Rasa Sakit
“Dan tidaklah Kami ciptakan langit dan bumi dan segala yang ada di antara keduanya dengan bermain-main.” (QS Ad - Dukhaan [44]: 38).
Tak ada satu pun yang Allah ciptakan di muka bumi ini dengan sia-sia dan tanpa perhitungan. Tak ada yang Allah ciptakan di bumi ini dengan tanpa tujuan dan manfaat. Bahkan sebuah rasa sakit pun yang terkadang kita anggap sebagai siksaan, sebetulnya Allah ciptakan dengan suatu maksud yang ternyata bisa mengantarkan kita untuk selalu bertafakur dan bersyukur kepanya-Nya dan bisa menjadi suatu anugrah bagi orang-orang tertentu.
Nyeri mempunyai makna dalam kehidupan manusia. Kita lahir dalam kenyerian/kesakitan. Kita menghadapi maut dalam kenyerian/kesakitan. Kita hidup dalam kenyerian/kesakitan baik bersifat psikis maupun somatik-viseral. Nyeri tidak hanya suatu signal yang menandakan adanya suatu proses patologis di dalam sistem tubuh kita. Tetapi dengan nyeri inilah, seorang hamba dapat sadar bahwa dirinya hanyalah makhluk ciptaan Tuhannya yang penuh dengan kelemahan dan ketidakberdayaan.
Definisi dari nyeri itu sendiri adalah suatu sensori yang tidak menyenangkan pengalaman emosi yang dihubungkan dengan aktual dan potensial kerusakan jaringan atau kondisi dimana terjadi kerusakan. Sebelum era penemuan ilmiah, semua orang percaya bahwa seluruh tubuh manusia bisa merasakan sakit. Sebelum peran ujung saraf di kulit itu ditemukan, manusia sudah belajar tentang keberadaan ujung saraf tertentu yang mengirimkan rasa sakit ke otak. Kulit berhubungan dengan sensitivitas karena mengandung mayoritas saraf.
Menurut klasifikasi sensitivitas kulit Dr. Head, ada dua kelompok rasa:
1. Epicritic yang merasakan sesuatu yang sangat lembut, seperti sentuhan ringan atau sedikit perubahan suhu; dan,
2. Protopathic yang merasakan sakit dan perubahan besar suhu. Masing-masing kategori ini menggunakan sel-sel saraf tertentu selain reseptor lain untuk mensensor setiap perubahan lingkungan.
Reseptor ini dapat dikategorikan ke dalam empat macam:
1. Exteroceptors yang berkaitan dengan akal dan sentuhan dan yang mengandung sel-sel
meissners dan merkels,
2. Krause End Bulbs yang terkait dengan dingin,
3. Ruffini Cylinders yang terkait dengan panas dan,
4. Nerve Endings yang dapat mengirimkan semua perasaan sakit fisik.
Jadi, kulit merupakan bagian tubuh yang kaya dengan ujung saraf yang salah satu fungsinya adalah untuk mengirimkan sinyal-sinyal eksternal berupa suhu dan sentuhan tergantung jenis reseptornya.
“Sesungguhnya orang-orang yang kafir kepada ayat-ayat Kami, kelak akan Kami masukkan mereka ke dalam neraka. Setiap kali kulit mereka hangus, Kami ganti kulit mereka dengan kulit yang lain, supaya mereka merasakan azab. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS An-Nisa’ [4]: 56).
Mengenai penghuni neraka, Allah SWT juga berfirman, “Dan diberi minuman dengan air yang mendidih sehingga memotong-motong ususnya” (Muhammad [47]: 15)
Allah SWT menjelaskan kepada kita dalam ayat pertama bahwa kulit adalah bagian tubuh yang akan menerima hukuman, karena ada hubungan antara kulit dan sensasi rasa sakit. Ayat ini juga mengatakan kepada kita bahwa ketika kulit terbakar (yakni di neraka), manusia tidak dapat lagi merasakan sakitnya hukuman. Karena itu kulit yang terbakar diganti dengan kulit segar baru di mana saraf yang berfungsi dengan baik dan dapat menularkan rasa sakit.
Anatomi telah membuktikan bahwa orang-orang yang kulitnya telah terbakar tidak bisa merasakan sakit karena ujung saraf rusak. Hal ini berbeda dari orang yang memiliki luka bakar tingkat kedua, karena ia akan mengalami sakit parah karena ujung saraf tidak rusak, tetapi agak terbuka.
Anatomi juga telah membuktikan bahwa usus kecil tidak punya reseptor. Namun, reseptor dapat ditemukan antara peritoneum dan lapisan luar usus. Area ini mengandung banyak organ kecil dikenal dengan nama paccini. Ukuran peritoneum adalah 20.400 cm kubik, yang menjadikannya setara dengan ukuran lapisan luar kulit. Selain itu, reseptor pada usus serupa dengan yang ada di kulit.
Al-Qur'an dalam ayat yang kedua mengancam orang-orang kafir bahwa usus mereka akan terpotong-potong. Rahasia di balik ancaman ini baru saja terungkap ketika para ilmuwan menemukan bahwa usus tidak terpengaruh oleh panas. Namun jika usus diputus, air mendidih akan mengalir keluar ke tempat antara peritoneum dan lapisan luar usus. Tempat ini berisi banyak ujung saraf yang mengirim rasa sakit ke otak dan dengan demikian manusia akan mengalami rasa sakit yang luar biasa.
Dengan cara ini, orang-orang kafir akan menderita karena penyangkalannya terhadap tanda-tanda kekuasaan Allah. Ilmu pengetahuan modern telah menunjukkan kepada kita bahwa sebagian besar saraf ditemukan di kulit. Sebelum penemuan mikroskop dan kemajuan yang dicapai dalam bidang anatomi, tidak ada manusia bisa memiliki pengetahuan tentang fakta ilmiah yang telah dijelaskan Alquran empat belas abad yang lalu ini. Ini merupakan sebuah keajaiban dan tanda kekuasaan Allah. Dengan semua tanda-tanda inilah Allah menunjukan kekuasaan-Nya, dan tak ada seorang pun yang dapat menyangkal atau meragukan-Nya.
Kajian Kedokteran Islam Rutin FULDFK KKIA DEW 3, Juli 2010 – Fakultas Kedokteran Universitas Islam Bandung
Tak ada satu pun yang Allah ciptakan di muka bumi ini dengan sia-sia dan tanpa perhitungan. Tak ada yang Allah ciptakan di bumi ini dengan tanpa tujuan dan manfaat. Bahkan sebuah rasa sakit pun yang terkadang kita anggap sebagai siksaan, sebetulnya Allah ciptakan dengan suatu maksud yang ternyata bisa mengantarkan kita untuk selalu bertafakur dan bersyukur kepanya-Nya dan bisa menjadi suatu anugrah bagi orang-orang tertentu.
Nyeri mempunyai makna dalam kehidupan manusia. Kita lahir dalam kenyerian/kesakitan. Kita menghadapi maut dalam kenyerian/kesakitan. Kita hidup dalam kenyerian/kesakitan baik bersifat psikis maupun somatik-viseral. Nyeri tidak hanya suatu signal yang menandakan adanya suatu proses patologis di dalam sistem tubuh kita. Tetapi dengan nyeri inilah, seorang hamba dapat sadar bahwa dirinya hanyalah makhluk ciptaan Tuhannya yang penuh dengan kelemahan dan ketidakberdayaan.
Definisi dari nyeri itu sendiri adalah suatu sensori yang tidak menyenangkan pengalaman emosi yang dihubungkan dengan aktual dan potensial kerusakan jaringan atau kondisi dimana terjadi kerusakan. Sebelum era penemuan ilmiah, semua orang percaya bahwa seluruh tubuh manusia bisa merasakan sakit. Sebelum peran ujung saraf di kulit itu ditemukan, manusia sudah belajar tentang keberadaan ujung saraf tertentu yang mengirimkan rasa sakit ke otak. Kulit berhubungan dengan sensitivitas karena mengandung mayoritas saraf.
Menurut klasifikasi sensitivitas kulit Dr. Head, ada dua kelompok rasa:
1. Epicritic yang merasakan sesuatu yang sangat lembut, seperti sentuhan ringan atau sedikit perubahan suhu; dan,
2. Protopathic yang merasakan sakit dan perubahan besar suhu. Masing-masing kategori ini menggunakan sel-sel saraf tertentu selain reseptor lain untuk mensensor setiap perubahan lingkungan.
Reseptor ini dapat dikategorikan ke dalam empat macam:
1. Exteroceptors yang berkaitan dengan akal dan sentuhan dan yang mengandung sel-sel
meissners dan merkels,
2. Krause End Bulbs yang terkait dengan dingin,
3. Ruffini Cylinders yang terkait dengan panas dan,
4. Nerve Endings yang dapat mengirimkan semua perasaan sakit fisik.
Jadi, kulit merupakan bagian tubuh yang kaya dengan ujung saraf yang salah satu fungsinya adalah untuk mengirimkan sinyal-sinyal eksternal berupa suhu dan sentuhan tergantung jenis reseptornya.
“Sesungguhnya orang-orang yang kafir kepada ayat-ayat Kami, kelak akan Kami masukkan mereka ke dalam neraka. Setiap kali kulit mereka hangus, Kami ganti kulit mereka dengan kulit yang lain, supaya mereka merasakan azab. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS An-Nisa’ [4]: 56).
Mengenai penghuni neraka, Allah SWT juga berfirman, “Dan diberi minuman dengan air yang mendidih sehingga memotong-motong ususnya” (Muhammad [47]: 15)
Allah SWT menjelaskan kepada kita dalam ayat pertama bahwa kulit adalah bagian tubuh yang akan menerima hukuman, karena ada hubungan antara kulit dan sensasi rasa sakit. Ayat ini juga mengatakan kepada kita bahwa ketika kulit terbakar (yakni di neraka), manusia tidak dapat lagi merasakan sakitnya hukuman. Karena itu kulit yang terbakar diganti dengan kulit segar baru di mana saraf yang berfungsi dengan baik dan dapat menularkan rasa sakit.
Anatomi telah membuktikan bahwa orang-orang yang kulitnya telah terbakar tidak bisa merasakan sakit karena ujung saraf rusak. Hal ini berbeda dari orang yang memiliki luka bakar tingkat kedua, karena ia akan mengalami sakit parah karena ujung saraf tidak rusak, tetapi agak terbuka.
Anatomi juga telah membuktikan bahwa usus kecil tidak punya reseptor. Namun, reseptor dapat ditemukan antara peritoneum dan lapisan luar usus. Area ini mengandung banyak organ kecil dikenal dengan nama paccini. Ukuran peritoneum adalah 20.400 cm kubik, yang menjadikannya setara dengan ukuran lapisan luar kulit. Selain itu, reseptor pada usus serupa dengan yang ada di kulit.
Al-Qur'an dalam ayat yang kedua mengancam orang-orang kafir bahwa usus mereka akan terpotong-potong. Rahasia di balik ancaman ini baru saja terungkap ketika para ilmuwan menemukan bahwa usus tidak terpengaruh oleh panas. Namun jika usus diputus, air mendidih akan mengalir keluar ke tempat antara peritoneum dan lapisan luar usus. Tempat ini berisi banyak ujung saraf yang mengirim rasa sakit ke otak dan dengan demikian manusia akan mengalami rasa sakit yang luar biasa.
Dengan cara ini, orang-orang kafir akan menderita karena penyangkalannya terhadap tanda-tanda kekuasaan Allah. Ilmu pengetahuan modern telah menunjukkan kepada kita bahwa sebagian besar saraf ditemukan di kulit. Sebelum penemuan mikroskop dan kemajuan yang dicapai dalam bidang anatomi, tidak ada manusia bisa memiliki pengetahuan tentang fakta ilmiah yang telah dijelaskan Alquran empat belas abad yang lalu ini. Ini merupakan sebuah keajaiban dan tanda kekuasaan Allah. Dengan semua tanda-tanda inilah Allah menunjukan kekuasaan-Nya, dan tak ada seorang pun yang dapat menyangkal atau meragukan-Nya.
Kajian Kedokteran Islam Rutin FULDFK KKIA DEW 3, Juli 2010 – Fakultas Kedokteran Universitas Islam Bandung
Islam Memandang Transplantasi Organ & Jaringan...
1. Pengertian Transplantasi
Transplantasi berasal dari kata to transplant yang berarti to move from one place to another,
bergerak dari satu tempat ke tempat lain. Pengertian transplantasi menurut para ahli Ilmu
kedokteran adalah pembedahan jaringan atau organ dari satu tempat ke tempat lain. Transplantasi
terbagi dua, transplantasi jaringan seperti pencangkokan kornea mata dan transplantasi organ
seperti pencangkokan ginjal, jantung dan sebagainya.
2. Pembagian Transplantasi
Dilihat dari segi hubungan genetik antara donor dan resipien, ada tiga jenis transplantasi, yaitu:
1. Auto-transplantasi, donor dan resipien merupakan satu individu, diambilkan dari bagian
badannya sendiri.
2. Homo-transplantasi, donor dan resipiennya individu yang sama jenisnya, manusia dengan
manusia, donor masih hidup atau sudah mati.
3. Hetero-transplantasi, donor dan resipiennya dua individu yang berlainan jenis, seperti
donornya dari hewan dan resipiennya manusia.
Dilihat dari tingkat keberhasilannya, pada auto-transplantasi hampir selalu tidak pernah
mendatangkan reaksi penolakan, sehingga jaringan atau organ yang ditransplantasikan hampir
selalu dapat dipertahankan oleh resipien dalam jangka waktu yang cukup lama. Pada
homo-transplantasi akan terjadi tiga kemungkinan:
1. Apabila resipien dan donor adalah saudara kembar yang berasal dari satu telur, maka
transplantasi hampir selalu tidak menyebabkan reaksi penolakan. Pada golongan ini hasil
transplantasinya serupa dengan hasil transplantasi pada auto-transplantasi.
2. Apabila resipien dan donor adalah saudara kandung atau salah satunya adalah orangtua,
maka reaksi penolakan pada golongan ini lebih besar daripada golongan pertama, tetapi masih
lebih kecil dari golongan ketiga.
3. Apabila resipien dan donor adalah dua orang yang tidak ada hubungan saudara, maka
kemungkinan besar transplantasi selalu menyebabkan reaksi penolakan.
Dewasa ini homotransplantasi paling sering dikerjakan dalam klinik, terutama dengan menggunakan
cadaver donor, karena dua alasan yaitu:
1. Kebutuhan organ dengan mudah dapat dicukupi, donor mudah ditemui.
2. Dengan pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan, terutama dalam bidang Imunologi, maka
reaksi penolakan (Graft Versus Host Disease/GVHD) dapat ditekan seminimal mungkin
3. Hukum Tranplantasi Organ Manusia
3.1 Pendapat Ulama Klasik
Dalam batas-batas tertentu berbagai jenis transplantasi atau menggunakan anggota tubuh
manusia untuk pengobatan telah menjadi pembahasan para fukaha (ahli fiqih) sejak lama,
baik autotransplantasi, homotransplantasi, atau heterotransplantasi.
Sebagian ulama nampaknya belum memandang perlu memfatwakan hukum autotransplantasi
atau replantasi. Barangkali karena telah ada isyarat dalam sunnah fi’liyyah, Nabi pernah
melakukannya, berkat mukjizatnya Nabi dapat mengembalikan (melakukan tindakan sejenis
replantasi) mata Qatadah bin al-Nu’man yang terlepas keluar pada saat perang Badar atau
Perang Uhud. Juga pernah mereplantasi tangan Muawwidz bin ‘Afra’ dan Habib bin Yasaf,
yang tertebas pedang hingga putus pada saat perang Badar. Atas dasar itu, maka fukaha
sepakat menetapkan bolehnya mengembalikan anggota tubuh yang terputus akibat sakit
atau sebab lainnya ke tempat semula. Ahmad bin Hanbal dan para pengikutnya berargumen,
karena di dalamnya terkandung roh yang merupakan bagian dari roh tubuh tersebut.
3.2. Fatwa Ulama Kontemporer
Majma’ al-Fiqh al-Islami pada Muktamar ke-4 yang diselenggarakan di Jiddah pada 6-11
Februari 1988, telah mengeluarkan fatwa tentang hukum transplantasi menggunakan organ
manusia, auto-transplantasi, dan homo-transplantasi dari orang hidup maupun orang mati,
dengan syarat-syarat yang harus ditunaikan. Ada delapan butir keputusan, yaitu sebagai
berikut:
1. Bahwa memindahkan organ tubuh seseorang ke bagian lain dari tubuhnya sendiri
(auto-transplantasi) hukumnya boleh, dengan ketentuan dapat dipastikan proses
tersebut manfaatnya lebih besar daripada mudarat yang timbul. Disyaratkan juga, hal itu
dilakukan karena organ tubuhnya ada yang hilang atau untuk mengembalikan ke bentuk
asal dan fungsinya, atau untuk menutupi cacat yang membuat si pasien terganggu secara
psikologis maupun fisiologis.
2. Memindahkan organ tubuh seseorang ke tubuh orang lain hukumnya mubah (boleh), jika
organ tubuh yang dipindahkan itu dapat terus berganti dan berubah, seperti darah dan
kulit. Disyaratkan pula, pendonor organ tubuh tersebut seorang yang sehat, serta
beberapa syarat lainnya yang perlu diperhatikan.
3. Boleh hukumnya memanfaatkan organ tubuh yang tidak berfungsi lagi, karena sakit
misalnya, untuk orang lain. Seperti mengambil kornea dari mata seseorang yang tidak
berfungsi lagi untuk orang lain.
4. Haram hukumnya memindahkan organ tubuh yang sangat vital, seperti jantung, dari
seseorang yang masih hidup kepada orang lain.
5. Haram hukumnya memindahkan organ tubuh seseorang yang dapat menyebabkan
hilangnya fungsi organ tubuh yang asasi secara total, meskipun tidak membahayakan
keselamatan jiwanya, seperti memindahkan kedua kornea mata. Namun jika pemindahan
organ tersebut hanya berdampak hilangnya sebagian fungsi organ tubuh yang asasi
(tidak total), maka hal ini perlu pembahasan lebih lanjut, sebagaimana yang akan
disinggung pada poin kedelapan.
6. Boleh hukumnya memindahkan organ tubuh mayyit kepada orang hidup yang sangat
bergantung keselamatan jiwanya dengan organ tubuh tersebut, atau fungsi organ vital
sangat tergantung pada keberadaan organ tersebut. Dengan syarat si mayit atau ahli
warisnya mengizinkan. Atau dengan syarat persetujuan pemerintah muslim jika si mayyit
seorang yang tidak dikenal identitasnya dan tidak memiliki ahli waris.
7. Perlu diperhatikan bahwa kesepakatan bolehnya memindahkan organ tubuh yang
dijelaskan di atas, disyaratkan tidak dilakukan dengan cara jual beli organ tubuh, karena
jual beli organ tubuh tidak diperbolehkan sama sekali. Adapun membelanjakan uang untuk
mendapatkan organ tubuh yang sangat dibutuhkan saat darurat, hal itu masih perlu
pembahasan dan kajian lebih lanjut.
8. Selain bentuk dan kondisi tersebut dia atas yang masih ada kaitannya dengan masalah ini,
maka masih perlu penelitian lebih dalam lagi dan selayaknya dipelajari serta dibahas sejalan
dengan kode etik kedokteran dan hukum-hukum syar’i.
Demikian juga, Komite Tetap Pengkajian Ilmiah dan Fatwa (al-Lajnah al-Daimah lil Buhuts
al-Ilmiyyah wal Ifta’) telah menetapkan hukum tentang transplantasi khusus untuk kornea
mata. Intinya, membolehkan dilakukan transplantasi kornea, dengan syarat pemiliknya
benar-benar telah mati, mendapatkan izin dari yang bersangkutan atau walinya, diprediksikan
secara meyakinkan akan berhasil. Alasan yang dikemukakan, merealisasikan yang kadar
kemaslahatannya lebih besar, memilih mudarat yang lebih kecil, lebih mendahulukan
kepentingan orang hidup. Bahkan, dibolehkan mengambil mata orang yang telah divonis harus
diambil demi kesehatannya karena diprediksikan membahayakan baginya, dan tidak berdampak
buruk kepada pihak penerimanya.
Kajian Kedokteran Islam Fakultas Kedokteran Universitas Yarsi
Transplantasi berasal dari kata to transplant yang berarti to move from one place to another,
bergerak dari satu tempat ke tempat lain. Pengertian transplantasi menurut para ahli Ilmu
kedokteran adalah pembedahan jaringan atau organ dari satu tempat ke tempat lain. Transplantasi
terbagi dua, transplantasi jaringan seperti pencangkokan kornea mata dan transplantasi organ
seperti pencangkokan ginjal, jantung dan sebagainya.
2. Pembagian Transplantasi
Dilihat dari segi hubungan genetik antara donor dan resipien, ada tiga jenis transplantasi, yaitu:
1. Auto-transplantasi, donor dan resipien merupakan satu individu, diambilkan dari bagian
badannya sendiri.
2. Homo-transplantasi, donor dan resipiennya individu yang sama jenisnya, manusia dengan
manusia, donor masih hidup atau sudah mati.
3. Hetero-transplantasi, donor dan resipiennya dua individu yang berlainan jenis, seperti
donornya dari hewan dan resipiennya manusia.
Dilihat dari tingkat keberhasilannya, pada auto-transplantasi hampir selalu tidak pernah
mendatangkan reaksi penolakan, sehingga jaringan atau organ yang ditransplantasikan hampir
selalu dapat dipertahankan oleh resipien dalam jangka waktu yang cukup lama. Pada
homo-transplantasi akan terjadi tiga kemungkinan:
1. Apabila resipien dan donor adalah saudara kembar yang berasal dari satu telur, maka
transplantasi hampir selalu tidak menyebabkan reaksi penolakan. Pada golongan ini hasil
transplantasinya serupa dengan hasil transplantasi pada auto-transplantasi.
2. Apabila resipien dan donor adalah saudara kandung atau salah satunya adalah orangtua,
maka reaksi penolakan pada golongan ini lebih besar daripada golongan pertama, tetapi masih
lebih kecil dari golongan ketiga.
3. Apabila resipien dan donor adalah dua orang yang tidak ada hubungan saudara, maka
kemungkinan besar transplantasi selalu menyebabkan reaksi penolakan.
Dewasa ini homotransplantasi paling sering dikerjakan dalam klinik, terutama dengan menggunakan
cadaver donor, karena dua alasan yaitu:
1. Kebutuhan organ dengan mudah dapat dicukupi, donor mudah ditemui.
2. Dengan pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan, terutama dalam bidang Imunologi, maka
reaksi penolakan (Graft Versus Host Disease/GVHD) dapat ditekan seminimal mungkin
3. Hukum Tranplantasi Organ Manusia
3.1 Pendapat Ulama Klasik
Dalam batas-batas tertentu berbagai jenis transplantasi atau menggunakan anggota tubuh
manusia untuk pengobatan telah menjadi pembahasan para fukaha (ahli fiqih) sejak lama,
baik autotransplantasi, homotransplantasi, atau heterotransplantasi.
Sebagian ulama nampaknya belum memandang perlu memfatwakan hukum autotransplantasi
atau replantasi. Barangkali karena telah ada isyarat dalam sunnah fi’liyyah, Nabi pernah
melakukannya, berkat mukjizatnya Nabi dapat mengembalikan (melakukan tindakan sejenis
replantasi) mata Qatadah bin al-Nu’man yang terlepas keluar pada saat perang Badar atau
Perang Uhud. Juga pernah mereplantasi tangan Muawwidz bin ‘Afra’ dan Habib bin Yasaf,
yang tertebas pedang hingga putus pada saat perang Badar. Atas dasar itu, maka fukaha
sepakat menetapkan bolehnya mengembalikan anggota tubuh yang terputus akibat sakit
atau sebab lainnya ke tempat semula. Ahmad bin Hanbal dan para pengikutnya berargumen,
karena di dalamnya terkandung roh yang merupakan bagian dari roh tubuh tersebut.
3.2. Fatwa Ulama Kontemporer
Majma’ al-Fiqh al-Islami pada Muktamar ke-4 yang diselenggarakan di Jiddah pada 6-11
Februari 1988, telah mengeluarkan fatwa tentang hukum transplantasi menggunakan organ
manusia, auto-transplantasi, dan homo-transplantasi dari orang hidup maupun orang mati,
dengan syarat-syarat yang harus ditunaikan. Ada delapan butir keputusan, yaitu sebagai
berikut:
1. Bahwa memindahkan organ tubuh seseorang ke bagian lain dari tubuhnya sendiri
(auto-transplantasi) hukumnya boleh, dengan ketentuan dapat dipastikan proses
tersebut manfaatnya lebih besar daripada mudarat yang timbul. Disyaratkan juga, hal itu
dilakukan karena organ tubuhnya ada yang hilang atau untuk mengembalikan ke bentuk
asal dan fungsinya, atau untuk menutupi cacat yang membuat si pasien terganggu secara
psikologis maupun fisiologis.
2. Memindahkan organ tubuh seseorang ke tubuh orang lain hukumnya mubah (boleh), jika
organ tubuh yang dipindahkan itu dapat terus berganti dan berubah, seperti darah dan
kulit. Disyaratkan pula, pendonor organ tubuh tersebut seorang yang sehat, serta
beberapa syarat lainnya yang perlu diperhatikan.
3. Boleh hukumnya memanfaatkan organ tubuh yang tidak berfungsi lagi, karena sakit
misalnya, untuk orang lain. Seperti mengambil kornea dari mata seseorang yang tidak
berfungsi lagi untuk orang lain.
4. Haram hukumnya memindahkan organ tubuh yang sangat vital, seperti jantung, dari
seseorang yang masih hidup kepada orang lain.
5. Haram hukumnya memindahkan organ tubuh seseorang yang dapat menyebabkan
hilangnya fungsi organ tubuh yang asasi secara total, meskipun tidak membahayakan
keselamatan jiwanya, seperti memindahkan kedua kornea mata. Namun jika pemindahan
organ tersebut hanya berdampak hilangnya sebagian fungsi organ tubuh yang asasi
(tidak total), maka hal ini perlu pembahasan lebih lanjut, sebagaimana yang akan
disinggung pada poin kedelapan.
6. Boleh hukumnya memindahkan organ tubuh mayyit kepada orang hidup yang sangat
bergantung keselamatan jiwanya dengan organ tubuh tersebut, atau fungsi organ vital
sangat tergantung pada keberadaan organ tersebut. Dengan syarat si mayit atau ahli
warisnya mengizinkan. Atau dengan syarat persetujuan pemerintah muslim jika si mayyit
seorang yang tidak dikenal identitasnya dan tidak memiliki ahli waris.
7. Perlu diperhatikan bahwa kesepakatan bolehnya memindahkan organ tubuh yang
dijelaskan di atas, disyaratkan tidak dilakukan dengan cara jual beli organ tubuh, karena
jual beli organ tubuh tidak diperbolehkan sama sekali. Adapun membelanjakan uang untuk
mendapatkan organ tubuh yang sangat dibutuhkan saat darurat, hal itu masih perlu
pembahasan dan kajian lebih lanjut.
8. Selain bentuk dan kondisi tersebut dia atas yang masih ada kaitannya dengan masalah ini,
maka masih perlu penelitian lebih dalam lagi dan selayaknya dipelajari serta dibahas sejalan
dengan kode etik kedokteran dan hukum-hukum syar’i.
Demikian juga, Komite Tetap Pengkajian Ilmiah dan Fatwa (al-Lajnah al-Daimah lil Buhuts
al-Ilmiyyah wal Ifta’) telah menetapkan hukum tentang transplantasi khusus untuk kornea
mata. Intinya, membolehkan dilakukan transplantasi kornea, dengan syarat pemiliknya
benar-benar telah mati, mendapatkan izin dari yang bersangkutan atau walinya, diprediksikan
secara meyakinkan akan berhasil. Alasan yang dikemukakan, merealisasikan yang kadar
kemaslahatannya lebih besar, memilih mudarat yang lebih kecil, lebih mendahulukan
kepentingan orang hidup. Bahkan, dibolehkan mengambil mata orang yang telah divonis harus
diambil demi kesehatannya karena diprediksikan membahayakan baginya, dan tidak berdampak
buruk kepada pihak penerimanya.
Kajian Kedokteran Islam Fakultas Kedokteran Universitas Yarsi
Pemanfaatan Placenta sebagai Sumber Hematopoietic Stem Cell dalam Perspektif Syariat Islam
Pemanfaatan Plasenta sebagai Sumber Hematopoietic Stem Cell dalam Perspektif Syariat Islam
Penelitian tentang stem cell semakin berkembang di dunia kedokteran saat ini. Yang dimaksud dengan stem cell adalah sel yang mempunyai kemampuan untuk berkembang menjadi banyak tipe sel lain di dalam tubuh selama awal kehidupan dan pertumbuhan, sehingga stem cell memiliki kemampuan untuk memperbaiki atau menggantikan sel-sel tubuh yang rusak akibat berbagai penyakit. Awalnya sumber mendapatkan stem cell adalah dari embrio, sumsum tulang belakang, darah perifer, otak, dan sebagainya. Pada penelitian yang terbaru menemukan dan mengatakan bahwa plasenta juga merupakan sumber stem cell yang optimal.
Di Indonesia setiap tahunnya terdapat kurang lebih 4,5 juta kelahiran, berarti terdapat 4,5 juta plasenta yang dihasilkan dan dapat dimanfaatkan sebagai sumber stem cell. Selama ini, plasenta-plasenta tersebut hanya berakhir di tempat sampah atau dikubur dalam tanah sesuai tradisi yang ada. Masyarakat masih berpikir bahwa memanfaatkan plasenta merupakan sesuatu yang tabu. Dengan adanya pengetahuan tentang pemanfaatan plasenta ini, diharapkan sumber daya yang ada tersebut digunakan, mengingat manfaat plasenta yang begitu besar bagi kemajuan ilmu kedokteran.Dalam plasenta juga terdapat blood stem cell, sel-sel yang nanti dapat berdiferensiasi menjadi semua sel-sel darah. Di masa yang akan datang, sel-sel dari plasenta ini dapat digunakan untuk mengobati berbagai penyakit seperti hypoxic–ischemicencephalop athy, penyakit jantung, diabetes, penyakit-penyakit pada sistem endokrin, stroke, Alzheimer'sdisease, Parkinson's disease, spinal cord injuries, dan lain-lain.
Terdapat banyak kelebihan stem cell yang berasal dari plasenta, yaitu lebih cepat bertambah dalam hal jumlah, namun tidak mudah terspesialisasi menjadi sel lain. Dalam plasenta hematopoeietic stem cell yang ditemukan, jumlahnya lebih banyak dibandingkan pada tempat lainnya. Selain itu, hematopoeietic stem cell dari plasenta lebih mudah didapatkan daripada yang berasal dari sumsum tulang belakang. Sebab pengambilan hematopoeietic stem cell dari sumsum tulang belakang, memerlukan serangkaian prosedur klinis yang menimbulkan rasa sakit. Resiko terjadinya reaksi penolakan transplantasi hematopoeietic stem cell dari sumsum tulang belakang atau darah perifer lebih tinggi dibandingkan yang diambil dari plasenta. Semua kelebihan ini diharapkan dapat memberikan terapi yang lebih baik bagi para penderita kanker darah seperti leukemia, ataupun penyakit gangguan hematologi lainnya. Dibandingkan dengan sumber lain, MSCs yang berasal dari plasenta manusia memiliki manfaat yang sangat besar dan potensi yang tinggi untuk penerapan secara klinis untuk penyakit Parkinson.Telah dilakukan penelitian untuk mengetahui kemampuan Mesenchymal Stem Cells (MSCs) yang berasal dari plasenta manusia untuk dimanipulasi sehingga dapat berkembang menjadi sel-sel saraf dopaminergik.
Di Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam, pemanfaatan plasenta dalam dunia kedokteran ini menimbulkan kontoversi. Sebab sempat terdapat larangan dalam menggunakan bagian organ tubuh manusia untuk penggunaan dalam obat ataupun kosmetik, seperti dalam Al-fatwa Al-hindiyah dikatakan “Memanfaatkan anggota tubuh manusia tidak diperbolehkan. Ada yang mengatakan karena najis dan ada yang mengatakan karena kehormatan, alasan kedua inilah yang benar.” Di satu sisi, pemanfaatan plasenta sangatlah potensial bagi perkembang dunia kedokteran. Dalam menghadapi permasalahan seperti ini, perlu kajian yang mendalam antara keduanya. Bagi umat muslim, membahas dasar hukum mengenai sesuatu yang tidak tercantum secara jelas dalam Alquran dan Hadist membutuhkan pengkajian yang mendalam. Kita dapat menganalogikan pemanfaatan plasenta ini dengan pendonoran organ tubuh, dimana tidak ada dalil pasti yang membahas tentang hal itu. Karena masalah ini memang hal baru yang belum pernah dikaji oleh para fuqaha klasik, hal ini merupakan hasil perkembangan ilmu pengetahuan yang sangat dinamis.
Pemanfaatan plasenta ini dapat kita analogikan dengan hukum transplantasi organ tubuh. Transplantasi organ tubuh hukumnya halal bila memenuhi syarat-syarat yang tidak menimbulkan bahaya kepada pendonor dan mencegah adanya kerusakan. Menolong orang lain adalah perbuatan mulia namun tetap harus memperhatikan kondisi pribadi. Artinya, tidak dibenarkan menolong orang lain yang berakibat membinasakan diri sendiri, sebagaimana firman-Nya dalam QS. Al-Baqarah ayat 195 “…dan janganlah kamu menjerumuskan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan.”
Jika dilihat dari kajian tersebut, tidak ada masalah mengenai penggunaan plasenta sebagai sumber hematopoietic stem cell dalam bidang kedokteran. Pertama, karena plasenta bukan sepenuhnya merupakan bagian tubuh manusia. Plasenta hanya terbentuk selama masa kehamilan dan keluar saat melahirkan, bukan terbentuk sejak kehidupan awal manusia. Kedua, plasenta yang dimanfaatkan melalui penerapan hematopoietic stem cell dapat mendatangkan keselamatan dan memberikan manfaat yang besar dan tidak merugikan pendonor sehingga tidak melanggar anjuran Islam.Berbeda dengan pemanfaatan embryonic stem cell yang menggunakan janin sebagai sumber stem cell. Hal ini bertentangan dengan syariat islam, karena dikhawatirkan merugikan janin sebagai pendonor.
Masyarakat muslim di Indonesia pun hendaknya melihat pemanfaatan plasenta lebih objektif lagi, yaitu dilihat dari aspek manfaat bukan dilihat dari pendapat subjektif yang melihat plasenta sebagai sesuatu yang menjijikan yang tidak memiliki manfaat sama sekali. Karena pada dasarnya, setiap penyakit sudah Allah siapkan obatnya, “Sesungguhnya Allah tidak akan menurunkan penyakit, melainkan Dia telah menurunkan buat penyakit itu penyembuhannya, maka berobatlah kamu” (HR Nasai dan Hakim). Esensi dari hadist tersebut adalah bahwa sebelum manusia itu lahir dan akan mendapatkan berbagai penyakit dalam hidupnya, sebenarnya Allah sudah menyiapkan dan membekali manusia dengan obatnya, yaitu plasenta ini. Sebab plasenta memiliki potensi untuk berubah menjadi berbagai sel dalam tubuh sehingga dapat dimanfaatkan untuk mengobati berbagai penyakit seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Dengan memanfaatkan plasenta sebagai sumber stem cell diharapkan pengembangan penelitian stem cell di Indonesia hendaknya lebih digiatkan, agar perkembangan ilmu kedokteran di Indonesia tidak tertinggal dengan perkembangan ilmu kedokteran dunia yang semakin dinamis.
__Kajian Kedokteran Islam Universitas Muhammadiyah Jakarta
Penelitian tentang stem cell semakin berkembang di dunia kedokteran saat ini. Yang dimaksud dengan stem cell adalah sel yang mempunyai kemampuan untuk berkembang menjadi banyak tipe sel lain di dalam tubuh selama awal kehidupan dan pertumbuhan, sehingga stem cell memiliki kemampuan untuk memperbaiki atau menggantikan sel-sel tubuh yang rusak akibat berbagai penyakit. Awalnya sumber mendapatkan stem cell adalah dari embrio, sumsum tulang belakang, darah perifer, otak, dan sebagainya. Pada penelitian yang terbaru menemukan dan mengatakan bahwa plasenta juga merupakan sumber stem cell yang optimal.
Di Indonesia setiap tahunnya terdapat kurang lebih 4,5 juta kelahiran, berarti terdapat 4,5 juta plasenta yang dihasilkan dan dapat dimanfaatkan sebagai sumber stem cell. Selama ini, plasenta-plasenta tersebut hanya berakhir di tempat sampah atau dikubur dalam tanah sesuai tradisi yang ada. Masyarakat masih berpikir bahwa memanfaatkan plasenta merupakan sesuatu yang tabu. Dengan adanya pengetahuan tentang pemanfaatan plasenta ini, diharapkan sumber daya yang ada tersebut digunakan, mengingat manfaat plasenta yang begitu besar bagi kemajuan ilmu kedokteran.Dalam plasenta juga terdapat blood stem cell, sel-sel yang nanti dapat berdiferensiasi menjadi semua sel-sel darah. Di masa yang akan datang, sel-sel dari plasenta ini dapat digunakan untuk mengobati berbagai penyakit seperti hypoxic–ischemicencephalop
Terdapat banyak kelebihan stem cell yang berasal dari plasenta, yaitu lebih cepat bertambah dalam hal jumlah, namun tidak mudah terspesialisasi menjadi sel lain. Dalam plasenta hematopoeietic stem cell yang ditemukan, jumlahnya lebih banyak dibandingkan pada tempat lainnya. Selain itu, hematopoeietic stem cell dari plasenta lebih mudah didapatkan daripada yang berasal dari sumsum tulang belakang. Sebab pengambilan hematopoeietic stem cell dari sumsum tulang belakang, memerlukan serangkaian prosedur klinis yang menimbulkan rasa sakit. Resiko terjadinya reaksi penolakan transplantasi hematopoeietic stem cell dari sumsum tulang belakang atau darah perifer lebih tinggi dibandingkan yang diambil dari plasenta. Semua kelebihan ini diharapkan dapat memberikan terapi yang lebih baik bagi para penderita kanker darah seperti leukemia, ataupun penyakit gangguan hematologi lainnya. Dibandingkan dengan sumber lain, MSCs yang berasal dari plasenta manusia memiliki manfaat yang sangat besar dan potensi yang tinggi untuk penerapan secara klinis untuk penyakit Parkinson.Telah dilakukan penelitian untuk mengetahui kemampuan Mesenchymal Stem Cells (MSCs) yang berasal dari plasenta manusia untuk dimanipulasi sehingga dapat berkembang menjadi sel-sel saraf dopaminergik.
Di Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam, pemanfaatan plasenta dalam dunia kedokteran ini menimbulkan kontoversi. Sebab sempat terdapat larangan dalam menggunakan bagian organ tubuh manusia untuk penggunaan dalam obat ataupun kosmetik, seperti dalam Al-fatwa Al-hindiyah dikatakan “Memanfaatkan anggota tubuh manusia tidak diperbolehkan. Ada yang mengatakan karena najis dan ada yang mengatakan karena kehormatan, alasan kedua inilah yang benar.” Di satu sisi, pemanfaatan plasenta sangatlah potensial bagi perkembang dunia kedokteran. Dalam menghadapi permasalahan seperti ini, perlu kajian yang mendalam antara keduanya. Bagi umat muslim, membahas dasar hukum mengenai sesuatu yang tidak tercantum secara jelas dalam Alquran dan Hadist membutuhkan pengkajian yang mendalam. Kita dapat menganalogikan pemanfaatan plasenta ini dengan pendonoran organ tubuh, dimana tidak ada dalil pasti yang membahas tentang hal itu. Karena masalah ini memang hal baru yang belum pernah dikaji oleh para fuqaha klasik, hal ini merupakan hasil perkembangan ilmu pengetahuan yang sangat dinamis.
Pemanfaatan plasenta ini dapat kita analogikan dengan hukum transplantasi organ tubuh. Transplantasi organ tubuh hukumnya halal bila memenuhi syarat-syarat yang tidak menimbulkan bahaya kepada pendonor dan mencegah adanya kerusakan. Menolong orang lain adalah perbuatan mulia namun tetap harus memperhatikan kondisi pribadi. Artinya, tidak dibenarkan menolong orang lain yang berakibat membinasakan diri sendiri, sebagaimana firman-Nya dalam QS. Al-Baqarah ayat 195 “…dan janganlah kamu menjerumuskan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan.”
Jika dilihat dari kajian tersebut, tidak ada masalah mengenai penggunaan plasenta sebagai sumber hematopoietic stem cell dalam bidang kedokteran. Pertama, karena plasenta bukan sepenuhnya merupakan bagian tubuh manusia. Plasenta hanya terbentuk selama masa kehamilan dan keluar saat melahirkan, bukan terbentuk sejak kehidupan awal manusia. Kedua, plasenta yang dimanfaatkan melalui penerapan hematopoietic stem cell dapat mendatangkan keselamatan dan memberikan manfaat yang besar dan tidak merugikan pendonor sehingga tidak melanggar anjuran Islam.Berbeda dengan pemanfaatan embryonic stem cell yang menggunakan janin sebagai sumber stem cell. Hal ini bertentangan dengan syariat islam, karena dikhawatirkan merugikan janin sebagai pendonor.
Masyarakat muslim di Indonesia pun hendaknya melihat pemanfaatan plasenta lebih objektif lagi, yaitu dilihat dari aspek manfaat bukan dilihat dari pendapat subjektif yang melihat plasenta sebagai sesuatu yang menjijikan yang tidak memiliki manfaat sama sekali. Karena pada dasarnya, setiap penyakit sudah Allah siapkan obatnya, “Sesungguhnya Allah tidak akan menurunkan penyakit, melainkan Dia telah menurunkan buat penyakit itu penyembuhannya, maka berobatlah kamu” (HR Nasai dan Hakim). Esensi dari hadist tersebut adalah bahwa sebelum manusia itu lahir dan akan mendapatkan berbagai penyakit dalam hidupnya, sebenarnya Allah sudah menyiapkan dan membekali manusia dengan obatnya, yaitu plasenta ini. Sebab plasenta memiliki potensi untuk berubah menjadi berbagai sel dalam tubuh sehingga dapat dimanfaatkan untuk mengobati berbagai penyakit seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Dengan memanfaatkan plasenta sebagai sumber stem cell diharapkan pengembangan penelitian stem cell di Indonesia hendaknya lebih digiatkan, agar perkembangan ilmu kedokteran di Indonesia tidak tertinggal dengan perkembangan ilmu kedokteran dunia yang semakin dinamis.
__Kajian Kedokteran Islam Universitas Muhammadiyah Jakarta
Langganan:
Postingan (Atom)